PERJANJIAN TUNTANG (KAPITULASI TUNTANG)
Penjajah sungguh licin dan licik dalam usahanya menguasai keraton yogyakarta. Dengan melakukan sebuah perjanjian, mereka menyiapkan draf yang tentu menguntungkan segala kepentingannya. Berbagai cara mereka lakukan, seperti menyogok, menghasut, mengadu domba, mnjebak dan merampas secara terang-terangan. Hasil pejanjian yang ditekan dengan penuh intrik dan siasat itu digunakan alasan konstitusional, seolah-seolah tindakannya benar.
Pada bulan agustus 1811 orang-orang inggris telah mendarat di "batavia" dan menyerbu terus ke "meester-cornelis". Dalam keadaan sedemikian kedua orang tersebut pergi ke bogor. Jansens tidak dapat mempertahankan diri terhadap balatentara inggris lalu memindahkan markas besarnya ke semarang. Pangeran notokusumo dan anaknya turut pergi ke semarang. Meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit sunan, kanjeng sinuwun dan mangkunegara, jndral jansens terpaksa menyerah, oleh karena sebagian besar dari tentara campuran itu melarikan diri. Pertahanan di serondol, kunci pertahanan jansens, digempur oleh inggris dan pada tanggal 18 september 1811.penyerahan tuntang, 18 september 1811, ditandatangani oleh gubernur jendral jansens dan letnan jendral sir samuel arehmutty.
Ketika tentara inggris mendarat di semarang, kedua orang itu diberikan perintah pergike surabaya dan berada disana, ketika penyerahan di tuntang dilakukan.
Isi perjanjian tuntang :
- Jawa dan semua pangkalan-pangkalan (madura, palembang, makasar, sunda kecil) diserahkan kepada inggris.
- Militer-militer pada pihak kompeni menjadi tawanan.
- Pegawai sipil yang ingin, dapat bekerja terus dalam gupernemen inggris.
Berdasarkan peraturan itu, engelhard tetap menjadi "minister" (soekanto, 1952). Sudah diduga bahwa isi perjanjian tuntang itu tetap merugikan kraton yogyakarta.
Pada tanggal 23 september 1811, kapten robinson (robinson) menurut babad tuan gopf - datang ke yogyakarta dengan pengumuman bahwa peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh daendles tetap berlaku dan keadaan-keadaan tidak boleh diubah. Akan tetapi sunan hamangkubuono ii tidak memperdulikan perintah itu, praktis semua pemerintahan kerajaan beliau jalankan seniri lagi. Kanjeng sinuwun turun dari tahta dan menjadi putera mahkota lagi. Kemudian beliau minta diberhentikan, oleh karena permintaannya yang berkali-kali diajukan dengan alasan sakit (14 november 1811). Sultan sepuh semakin bertindak tegas kepada musuh.
Raffles yang pada bulan desember berada di semarang dan hendak pergi ke surakarta dan yogyakarta, membutuhkan tenaga pangeran notokusumo dan anaknya, yang bertalian dengan itu diharuskan ada di semarang. Dalam konfensi yang diadakan di semarang antara raffles, notokusumo dan notodiningrat, diputuskan mengiim notokusumo ke yogyakarta lebih dulu untuk membicrakan permintaan gupernemen inggris dengan sultan.
Pada tanggal 27 september 1811, raffles tiba di yogyakarta dan pada tanggal 28 desember 1811, diputuskan dengan perjanjian bahwa sulta tetap memegang pemerintahan. Kanjeng sinuwun diturunkan menjadi putera mahkota saja, dan sindunegoro tetap menjadi "rijksbestirder". Apa sebabnya raffles mengambil pendrian sedemikian, kita tidak tau,oleh karena itu, perjanjian itu tidak ada lagi. Boleh jadi raffle menyuruh mengambil dan membakarnya (perjanjian itu) setelah insaf, bahwa perbuatannya terhadap sultan sepuh salah.
Ketika putera mahkota dilantik sebagai kanjeng sinuwun oleh daendles dibuat suatu perjanjian (10 januari 1811), dalam perjanjian mana misalnya uang-uang pantai dihapuskan, batas-batas kerajaan diatur lagi, beberapa daerah-daerah diserahkan kepada gupernemen, begitu juga terhadap surakarta. Raffles minta raja-raja supaya perjanjian tersebut dilakukan dalam praktek. Sunan dan sultan yang satu sama lain mempunyai hubungan rahasia (dari pihak sultan dengan perantaraan sumadiningrat) mempunyai pikiran yang sama tentang hal itu dan menolak permintaan raffles.
Perjanjian tuntang tersebut telah merampas dan memeras kraton yogyakarta total-totalan. Penjajah diuntungkan berkali lipat. Akhirnya rakyat kecil menjadi korban keganasan penjajah.
(Djoko dwiyanto, kraton yogyakarta, sejarah, nasionalisme & teladan perjuangan.paradigma indonesia. 2009, 72-74)
Post a Comment