KOTA BLITAR
GEOGRAFI :
Kota Blitar, adalah sebuah kota yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak sekitar 167 km sebelah selatan Kota Surabaya. Kota Blitar terkenal sebagai tempat dimakamkannya presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Blitar, baik kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah meletus puluhan kali terhitung sejak tahun 1331. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu.
Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik, mengandung abu letusan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau, dan sayur mayur.
Selain hijaunya persawahan yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung, dan jati.
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur.
Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah.
Jalur Strategis
Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari).
Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan
runtuh silih berganti, Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat setidaknya 12 buah candi.
Keberadaan Gunung Kelud yang sejak zaman purba rutin memuntahkan abu vulkanik dan aliran Sungai Brantas yang melintasi Blitar dari timur ke Barat seperti menjadi berkah alam yang membuat Blitar sudah amat lama memiliki masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang cukup tinggi. Salah satu bukti menunjukkan Blitar sudah muncul sejak abad 10. Bukti itu berbentuk prasasti yang terpahat di belakang arca Ganesha. Prasasti itu menyebutkan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah. Prasasti itu kira-kira dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi.
SEJARAH :
Asal Nama BlitarSalah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian Kitab Negarakertagama.
Pendapat yang mengatakan bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor… langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran Tim Hari Jadi Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Blitar Nomor 262 tahun 1988 tertanggal 31 Desember 1988, maka berdasarkan dokumen dan testamen yang ada, dapatlah diketahui bahwa penetapan hari jadi Kota Blitar adalah sebagai berikut.
• Gemeente Blitar dibentuk berdasarkan Staatsblad van Nederlandsche Indie Nomor 150 tahun 1906 tertanggal 1 April 1906.
• Jadi, tanggal 1 April 1906, merupakan penetapan berdirinya Gemeente Blitar yang dapat dipastikan kebenarannya, bahwa:
1. Wilayah ibukota (Kabupaten) Blitar, lewat Undang-Undang diputuskan menjadi Gemeente (Kotapraja) Blitar.
2. Gemeente (Kotapraja) Blitar, oleh pemerintah pusat setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11.850 gulden.
3. Gemeente (Kotapraja) Blitar, dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan wewenang secara terperinci.
4. Bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan “Dewan Kotapraja Blitar” dengan jumlah anggota 13 orang.
5. Undang-Undang pembentukan Kotapraja Blitar mulai berlaku tanggal 1 April 1906.
Jika memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan, maka selama perjalanan pemerintahan hingga saat ini Blitar telah mengalami perubahan status pemerintahan sebagai berikut.
1. Kota Blitar pertama dibentuk berdasarkan staatsblad tahun 1906 nomor 150 jo, staatsblad 497 tahun 1928 dengan nama Gemeente Blitar dengan luas wilayah 6,5 km² dan jumlah penduduk 35.000 jiwa;
2. Pada tahun 1928 Kota Blitar pernah menjadi kota karesidenan dengan nama Karesidenan Blitar, tetapi berdasarkan staatsblad nomor 497 tahun 1928 status Blitar dikembalikan lagi menjadi gemeente.
3. Pada zaman Jepang tahun 1942 berdasarkan Osamu Seerai dengan nama Blitar-Shi dengan luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 45.000 jiwa.
4. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1945 dengan nama Kota Blitar luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 45.000 jiwa.
5. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 1950 dengan nama Blitar dibentuk sebagai daerah kota kecil.
6. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 dengan nama Kotapraja Blitar, luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 60.000 jiwa .
7. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 ditetapkan dengan nama Kotamadya Blitar dengan luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 73.142 jiwa.
8. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan menjadi 3 kecamatan dengan 21 kelurahan. Perubahan ini mengakibatkan perluasan daerah dari 1 kecamatan (16,1 km²) menjadi 3 kecamatan (32,369 km²) dan pertambahan penduduk dari 106.500 jiwa (1982) menjadi 124.767 jiwa (2003).
9. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 nama Kotamadya Blitar disesuaikan dan diganti dengan nama Kota Blitar.
(Sumber: Profil Kota Blitar, Bappeda Kota Blitar)
GEOGRAFI :
Kota Blitar, adalah sebuah kota yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak sekitar 167 km sebelah selatan Kota Surabaya. Kota Blitar terkenal sebagai tempat dimakamkannya presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Blitar, baik kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah meletus puluhan kali terhitung sejak tahun 1331. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu.
Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik, mengandung abu letusan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau, dan sayur mayur.
Selain hijaunya persawahan yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung, dan jati.
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur.
Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah.
Jalur Strategis
Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari).
Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan
runtuh silih berganti, Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat setidaknya 12 buah candi.
Keberadaan Gunung Kelud yang sejak zaman purba rutin memuntahkan abu vulkanik dan aliran Sungai Brantas yang melintasi Blitar dari timur ke Barat seperti menjadi berkah alam yang membuat Blitar sudah amat lama memiliki masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang cukup tinggi. Salah satu bukti menunjukkan Blitar sudah muncul sejak abad 10. Bukti itu berbentuk prasasti yang terpahat di belakang arca Ganesha. Prasasti itu menyebutkan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah. Prasasti itu kira-kira dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi.
SEJARAH :
Asal Nama BlitarSalah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian Kitab Negarakertagama.
Pendapat yang mengatakan bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor… langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran Tim Hari Jadi Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Blitar Nomor 262 tahun 1988 tertanggal 31 Desember 1988, maka berdasarkan dokumen dan testamen yang ada, dapatlah diketahui bahwa penetapan hari jadi Kota Blitar adalah sebagai berikut.
• Gemeente Blitar dibentuk berdasarkan Staatsblad van Nederlandsche Indie Nomor 150 tahun 1906 tertanggal 1 April 1906.
• Jadi, tanggal 1 April 1906, merupakan penetapan berdirinya Gemeente Blitar yang dapat dipastikan kebenarannya, bahwa:
1. Wilayah ibukota (Kabupaten) Blitar, lewat Undang-Undang diputuskan menjadi Gemeente (Kotapraja) Blitar.
2. Gemeente (Kotapraja) Blitar, oleh pemerintah pusat setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11.850 gulden.
3. Gemeente (Kotapraja) Blitar, dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan wewenang secara terperinci.
4. Bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan “Dewan Kotapraja Blitar” dengan jumlah anggota 13 orang.
5. Undang-Undang pembentukan Kotapraja Blitar mulai berlaku tanggal 1 April 1906.
Jika memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan, maka selama perjalanan pemerintahan hingga saat ini Blitar telah mengalami perubahan status pemerintahan sebagai berikut.
1. Kota Blitar pertama dibentuk berdasarkan staatsblad tahun 1906 nomor 150 jo, staatsblad 497 tahun 1928 dengan nama Gemeente Blitar dengan luas wilayah 6,5 km² dan jumlah penduduk 35.000 jiwa;
2. Pada tahun 1928 Kota Blitar pernah menjadi kota karesidenan dengan nama Karesidenan Blitar, tetapi berdasarkan staatsblad nomor 497 tahun 1928 status Blitar dikembalikan lagi menjadi gemeente.
3. Pada zaman Jepang tahun 1942 berdasarkan Osamu Seerai dengan nama Blitar-Shi dengan luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 45.000 jiwa.
4. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1945 dengan nama Kota Blitar luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 45.000 jiwa.
5. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 1950 dengan nama Blitar dibentuk sebagai daerah kota kecil.
6. Berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 dengan nama Kotapraja Blitar, luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 60.000 jiwa .
7. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 ditetapkan dengan nama Kotamadya Blitar dengan luas wilayah 16,1 km² dan jumlah penduduk 73.142 jiwa.
8. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982, luas wilayah Kotamadya Blitar dimekarkan menjadi 3 kecamatan dengan 21 kelurahan. Perubahan ini mengakibatkan perluasan daerah dari 1 kecamatan (16,1 km²) menjadi 3 kecamatan (32,369 km²) dan pertambahan penduduk dari 106.500 jiwa (1982) menjadi 124.767 jiwa (2003).
9. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 nama Kotamadya Blitar disesuaikan dan diganti dengan nama Kota Blitar.
(Sumber: Profil Kota Blitar, Bappeda Kota Blitar)
Post a Comment