PERKEMBANGAN KOTA MALANG PADA JAMAN KOLONIAL (1914-1940)
ABTRAK
Perubahan morpologi kota-kota di dunia ketiga termasuk juga di Indonesia dewasa ini semakin cepat terasa. Perubahan tersebut menurut banyak ahli perkotaan tidak saja terjadi di pusat kota, tapi bahkan juga terjadi di daerah pinggiran. Salah satu sebab utama dari kejadian tersebut adalah proses globalisasi yang sekarang secara cepat melanda kota-kota di dunia ketiga. Tulisan ini mencoba menelusuri riwayat perkembangan kota Malang (1914-1940), yang dianggap sebagai salah satu hasil perencanaan kota yang terbaik di Hindia Belanda pada waktu itu. Tujuan utamanya adalah memberikan gambaran yang jelas tentang proses perkembangannya sebagai pertimbangan untuk perkembangan kota tersebut dimasa datang.
Perkembangan Kota Malang 1914-1940
Perkembangan penduduk dan keadaan kota sebelum tahun 1914.
”The city is The People”, kota adalah manusia yang menghuninya, demikian sering dikatakan oleh para ahli perkotaan. Seperti halnya semua kota-kota kolonial di Jawa pada umumnya, Malang juga dihuni oleh sebuah masyarakat yang majemuk Masyarakat majemuk yang ada di Malang terdiri atas:
a. Penduduk Pribumi setempat.
b. Penduduk Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), yang terdiri atas orang Cina dan Arab, serta Timur asing lainnya.
c. Penduduk Belanda sendiri yang memerintah.
Masyarakat inilah yang membentuk pola permukiman di Malang sebelum tahun 1900. Kota-kota kolonial di Jawa antara th.1800 sampai tahun 1900 punya ciri khas, alun-alun sebagai pusatnya. Bentuk-bentuk kotanya juga ditujukan terutama pada kepentingan ekonomi. Dimana kepentingan produksi pertanian serta distribusi memegang peran penting dalam perekonomian Kolonial. Semua ini memerlukan kontrol dalam sistim pemerintahan. Pusat kontrol pemerintahan pada kota-kota kolonial di Jawa dtepatkan disekitar alon-alon kotanya. Semua bangunan pemerintahan seperti kantor Asisten Residen, Kantor Bupati, Penjara serta bangunan keagamaan seperti mesjid ( Di Malang juga Gereja) dibangun disekitar alon-alon. Jadi alon-alon berfungsi sebagai ”Civic Center”. Sedangkan pola permukimannya terbentuk disekeliling alon-alon menurut pengelompokan dari masyarakat majemuk yang menjadi penghuni kotanya. Orang Belanda tinggal di dekat pusat pemerintahan serta jalan-jalan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Orang Cina yang sebagian besar merupakan pedagang perantara tinggal disekitar pasar, yang disebut sebagai daerah Pecinan, sedangkan orang Pribumi setempat tinggal di gang-gang disekitar daerah alon-alon. Pola penyebaran permukiman di Malang sampai tahun 1914 adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang 1914-1939):
a. Daerah permukiman orang Eropa terletak disebelah Barat daya dari alon-alon Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya, selain itu juga terdapat disekitar Kayoetangan,Oro-oro Dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal
b. Daerah permukiman orang Cina terdapat sebelah Tenggara dari alon-alon (sekitar Pasar Besar). Daerah orang Arab disekitar belakang mesjid.
c. Daerah orang Pribumi kebanyakan menempati daerah kampung sebelah Selatan alon-alon, yaitu daerah kampung: Kabalen, Penanggungan, Djodipan, Talon dan Klodjenlor.
d. Daerah Militer terletak disebelah Timur daerah Rampal
Luas wilayah kota Malang pada th. 1914 adalah 1503 HA, sedangkan jumlah penduduknya adalah sebagai berikut (Staadgemeente Malang 1914-1939):
a. Penduduk Pribumi : kurang lebih 40.000 jiwa
b. Penduduk Eropa : kurang lebih 2.5000 jiwa
c. Penduduk Timur Asing : kurang lebih 4.000 jiwa
Demikianlah gambaran kasar bentuk kota Malang, sampai th. 1914, dengan alon-alon sebagai pusat serta pola jaringan jalan yang berbentuk jejala (Grid) dan penyebaran daerah permukiman yang ada disekitarnya.
Letak Geografis dan Bentuk Kota Malang
Kota-kota kolonial di Jawa secara geografis selalu terbagi menjadi kota Pasisir dan Kota Pedalaman. Malang sendiri merupakan kota pedalaman. Letaknya yang cukup tinggi (450 m diatas permukaan laut) serta sekitarnya yang merupakan daerah perkebunan, membuat kota ini menjadi sangat strategis dan tumbuh dengan cepat sebagai kota kedua yang terbesar di Jatim.
Sampai tahun 1914 Malang mash merupakan sebuah kota kabupaten , bagian dari Karesidenan Pasuruan. Salah satu kendala tidak bisa berkembangnya kota-kota pedalaman adalah masalah prasarana dan komunikasi. Pembangunan prasarana secara besar-besaran di Jawa termasuk Malang) baru dimulai setelah th. 1870.
Jalan kereta api pertama antara Surabaya-Malang dibuat pada th. 1876. Rel kereta api yang sejajar dengan jalan masuk ke kota Malang dan berhenti di stasiun kota yang lama ini, berpengaruh besar terhadap perkembangan kota. Karena sesudah adanya rel kereta api ini, maka banyak rumah-rumah orang Eropa yang dibangun di dekat rel kereta api tersebut.
Gb.2. Sejak dulu Malang mempunyai letak geografis yang baik sekali.
Gb.3. Daerah hunian di kota Malang sampai th. 1914, dipisahkan menurut daerah orang Eropa, daerah Pecinan dan daerah Penduduk Pribumi
Jalan-jalan darat yang menghubungkan antara Malang dengan daerah perkebunan disekelilingnya juga mulai dibuat. Bahkan antara Malang dengan kota-kota lain seperti Blitar, Batu dan Surabaya juga sudah ada. Jadi sebenarnya secara geografis sesudah th. 1900, Malang sudah bukan sebagai kota pedalaman yang terisolir lagi.
Malang juga dialiri oleh sungai. Masing-masing adalah sungai Berantas yang mengalir dari Utara ke Selatan, sungai Bango dan Amprung . Tapi yang berpengaruh besar terhadap bentuk dan kota Malang adalah sungai Berantas. Tidak seperti kota-kota Pesisir yang biasanya merupakan muara dari sungai-sungai besar seperti Surabaya, Semarang dan Batavia, sungai Berantas yang melewati kota Malang mempunyai lembah yang terjal sehingga sungai lebih berfungsi sebagai batas kota daripada urat nadi transportasi perdagangan di kota. Baru pada th.1920 an dengan dibentuknya pusat pemerintahan baru di daerah alon-alon bunder maka sungai Berantas yang dulunya berfungsi sebagai batas kota, berubah menjadi sungai yang membelah kota Malang (lihat peta th. 1914 dan 1934).
Gb.4. Pemandangan daerah Chineschestraat, kemudian menjadi Pecinan straat (sekarang Jl. Pasar Besar). Pemandangan tersebut diambil sekitar th. 1900 an.
Keadaan geografis lain yang sangat menguntungkan kota Malang adalah letaknya yang cukup tinggi (450 m diatas permukaan laut) sehingga kota ini menjadi satu-satunya kota yang berhawa dingin di Jatim. Selain itu Malang juga dikelilingi oleh gunung-gunung seperti: Kawi, Arjuna, Semeru dan Tengger yang memberikan suatu pemandangan indah pada kotanya.
Kotanya sendiri sampai th. 1914, berbentuk konsentris dengan pola jejala (grid) dan pusatnya adalah alon-alon yang dihubungkan dengan jalan-jalan besar yang menuju ke luar kota. Hal ini merupakan modal awal yang baik untuk perkembangan lebih lanjut pada abad ke 20.
Keputusan Politik Yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Kota.
Keputusan politik pertama yang berpengaruh langsung pada perkembangan kota Malang adalah U.U. Gula (suikerwet) dan U.U. Agraria (agrarischewet), pada th. 1870. Undang-undang tersebut mengakibatkan adanya pembangunan secara besar-besaran oleh pihak pemerintah dan swasta untuk membangun prasarana baik di dalam kota, jalan-jalan yang menghubungkan Malang sebagai kota pedalaman dengan kota-kota lainnya seperti yang telah dibahas diatas.
api keputusan politik yang lebih penting adalah adanya undang-undang desentralisasi pada th. 1903, yang disusul dengan keputusan desentralisasi pada th. 1905. Undang-undang tersebut pada pokoknya berisi wewenang yang lebih besar kepada kota-kota yang ditetapkan sebagai kotamadya (gemeente), untuk bisa berdiri sendiri. Malang ditetapkan sebagai Kotamadya (gemeente) pada tanggal 1 April 1914. Sejak saat itulah sebenarnya Malang berkembang lebih pesat dari sebuah kota Kabupaten yang kecil menjadi sebuah Kotamadya terbesar kedua di Jatim. Dengan ditetapkannya sebagai sebuah Kotamadya, maka mulailah Malang melakukan perluasan kota, yang dirasakan pada tahun tersebut kotanya sudah tidak memadai, karena pertambahan penduduk yang pesat sekali.
Post a Comment