Jakarta masih menyimpan tempat-tempat lain yang memiliki nilai sosio-historis yang sangat tinggi dan menjadi trend masyarakat di zamannya. Terutama yang ditujukan sebagai fasilitas umum. Salah satu yang berbeda dengan masa sekarang adalah gedung pertunjukan film (teater/bioskop) , baik yang masih berdiri maupun yang sudah lenyap dimakan moderenitas dan prilaku masyarakat yang anti terhadap zaman sebelumnya.
Awal abad ke-20 bioskop mulai dikenal oleh penduduk Batavia. Tercatat, sebagai pengusaha bioskop pertama di Batavia adalah seorang Belanda bernama Talbot. Ia mendisain gedung bioskopnya menyerupai bangsal berdinding gedek dan beratap kaleng (seng) di Lapangan Gambir (Monas). Setelah pertunjukan selesai, bioskop itu kemudian dibawa keliling kampung. Usaha ini kemudian diikuti oleh Schwarz, seorang Belanda yang tinggal di dekat Kebon Jahe, Tanah Abang. Bioskop Schwarz berakhir tragis, bioskopnya terbakar ketika menempati sebuah gedung besar di Pasar Baru. Namun, berikutnya muncul bioskop de Callone di Deca Park (sekitar mesjid Istiqlal). Bioskop de Callone mula-mula berupa bioskop terbuka di lapangan yang disebut misbar gerimis bubar. De Callone kemudian menempati gedung di sekitar Pintu Air dengan nama berbeda, Capitol. Beberapa tahun kemudian, pengusaha Cina mendirikan bioskop Elite. Namun, bioskop itu tidak lama sebelum akhirnya dijual kepada Universal Film Co. tanpa diketahui sabab-musababnya.
Film-film yang trend dan sangat disukai kala itu adalah Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo, dan film-film lucu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll. Film-film tersebut adalah film bisu/gagu (tak bersuara) yang diramaikan oleh orkes musik. Teknologi dulu memang belum seperti sekarang ini. Bagi anda penyuka film action, seperti perang di angkasa, perkelahian atau pemboman, tentu saja film bisu sangat tidak menyenangkan. Nah, untuk mengisi kekosongan suara, maka dibuatlah orkes musik. Misalnya, jika adegan film action, maka musik menjadi keras dengan tempo cepat. Jika film beradegan sendu, musik pun menyesuaikan, begitu pula jika adegan romantis, musik malah bisa lebih menenggelamkan hati dan perasaan penontonnya. Terkadang, musik dengan film tidak singkron. Semua itu tergantung trampil atau tidaknya gesekan tangan pemain musik orkes, terutama pemain biolanya. Salah seorang yang trampil bermain biola yaitu bernama Amat. Saking cekatannya, Bang Amat bisa menggesek biola tidak lagi dipundaknya, tapi di dada kirinya. Jari-jari tangannya pun sangat lihai, matanya tidak berkedip dan serius melihat adegan demi adegan yang ada di layar. Pemain biola yang berkacamata dan berkulit coklat kehitaman itu hampir berusia 50 tahun. Karena ia pernah show hampir di semua bioskop yang ada di Batavia, maka Bang Amat sangat terkenal dikalangan masyarakat penyuka bioskop.
Bagi kebanyakan kakek dan nenek kita yang lahir zaman itu (sekitar tahun dua puluhan) atau zaman dimana Jakarta ketika itu masih bernama Batavia (Betawi di mulut rakyat), bioskop sekarang sangatlah jauh berbeda. Di bagian utara kota atau dikenal dengan nama Kota (orang Belanda menyebutnya Benedenstad) hanya ada dua bioskop: Gloria Bioscoop di Pancoran dan Cinema Orion di Glodok. Sedangkan di bagian selatan kota (orang Belanda menyebutnya Bovenstad atau Weltevreden) ada Cinema Palace di Krekot, Globe Bioscoop di Pasar Baru, Deca Park di Gambir, dan Dierentuin di Cikini (di kompleks TIM sekarang).
Pada saat penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang tahun 1942, bioskop yang ada di Jakarta setidaknya terdapat lebih dari 15-an bioskop, antara lain: Rex di Kramat Bunder; Cinema di Krekot; Astoria di Pintu Air; Centraal di Jatinegara; dua bioskop Rialto masing Senen dan Tanah Abang; Thalia dan Olimo di Hayam Wuruk; Alhambra di Sawah Besar. Bioskop lain kemudian berkembang, ada Bioskop Widjaja di Pasar Ikan dan Rivoli di Kramat yang khusus memutar film-film India, ada Mega(h)ria (Metropole) di Cikini yang trend di tahun 50-an sebagai bioskop kelas atas di Jakarta. Bioskop lain adalah Oost Java terletak di pojok jalan Merdeka Utara jalan Veteran III. Di gedung inilah dalam Kongres Pemuda II lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan oleh WR. Supratman. Sekarang Oost Java sudah tidak ada lagi. Begitu pula Rembrant di Pintu Air, bioskop itu kini tinggallah kenangan.
Sebelum tahun 50-an, Capitol-lah bioskop yang paling mahal di Batavia. Bioskop ini selain dikhususkan bagi orang Belanda, sebagai perkecualian adalah para bupati dan pejabat Volksraad (anggota dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda), tarifnya cukup mahal untuk zaman itu, yaitu satu setengah gulden.
Penonton bioskop di Bovenstad pada umumnya berasal dari masyarakat atas, yaitu para ambtenaar (pejabat pemerintahan) , para tuan toko, para pemimpin perusahaan besar Belanda dan pegawai-pegawainya, serta orang-orang dari golongan berduit. Sedangkan penonton bioskop di daerah Benedenstad umumnya dari golongan menengah ke bawah. Harga-harga karcisnya pun di bioskop bagian selatan kota lebih tinggi ketimbang di utara kota.
Nonton bioskop di Batavia kala itu menjadi gengsi tersendiri. Hampir tiap malam jadi perhatian banyak orang, terutama kalangan pemuda. Terang saja karena era televisi belum ada. Tontonan bioskop menjadi primadona. Terlebih lagi promosi film biasanya diarak keliling kota menggunakan delman atau sado yang dipajangi poster-poster film yang akan diputar malam itu serta nama bioskop bersangkutan. Usaha ini tentunya sangat menarik perhatian bagi siapa saja yang berada di pinggir jalan. Biasanya genderang / tambur dipukul-pukul untuk membuat suasana jadi bising. Pak kusir pun tak mau ketinggalan membunyikan terus menerus bel/klakson delmannya. Poster-poster atau brosur disebarkan ke pinggir jalan di mana orang-orang berkumpul. Kesempatan ini biasanya dimanfaatkan oleh anak-anak untuk mengambil poster-poster itu sambil berlarian. Maklum ketika itu jalanan kota masih sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor tidak seperti jaman sekarang.
Nonton bioskop tempo dulu sangatlah tidak nyaman seperti jaman sekarang. Terutama jika nonton bioskop di daerah Kota. Penonton wanita berpakain cantik dan menor, sedangkan pria biasanya berpakaian serba santai, alias seenaknya sendiri. Ada yang memakai setelan jas komplit (jas tutup menurut mode jaman itu dan pantalon), ada juga yang menggunakan jas dengan bawahan celana komprang (sejenis celana piyama), dan ada yang menggunakan setelan piyama lengkap. Mungkin golongan terakhir ini tidak tahu kalau piyama hanya digunakan untuk tidur. Ini jelas diluar kebiasaan penonton bioskop masa kini.
Ada yang unik jika kita menonton bioskop tempo dulu, yaitu tidak ada aturan untuk 13/17 tahun ke atas. Akibatnya banyak anak-anak kecil yang ikut nonton bersama orang tuanya. Namun, ada peraturan yang berbeda dengan sekarang. Di bioskop tempo dulu tempat duduk antara laki-laki dan perempuan dipisah. Biasanya banyak pasangan anak muda atau suami istri yang melanggarnya. Ini mungkin saja karena kasihan jika pasangan perempuannya harus berjubelan keluar saat film selesai. Pemandangan tambah semrawut, karena para pedagang asongan ikut masuk ke dalam bioskop. Sambil berteriak â€Å“Kwaci..., Palamanis... , Kacang Arab... seakan-akan hendak menyaingi lagu-lagu dari musik orkes, percapakan calon-calon penonton dan hiruk pikuk bisingnya kendaraan yang lalu lalang di depan bioskop. Bayangkan, nonton bioskop jaman dulu seperti naik kereta api listrik jurusan Bogor Kota dipagi saat orang berangkat kerja atau sore hari ketika orang pulang kerja, panas berkeringat, penuh sesak, dan berjubelan dengan para pedagang. Sehingga kejahatan sangatlah rawan terjadi dalam kondisi seperti ini.***
Mailing list: http://groups. yahoo.com/ group/komunitash istoria
Post a Comment