GEOHISTORI JALUR SUTRA

GEOHISTORI JALUR SUTRA 
Oleh :
Desi Intan Alvira
(Mahasiswa Universitas Negeri Malang Jurusan Sejarah FIS 2009)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Jalur Sutra merupakan sebuah rute perdagangan zaman dahulu yang membentang mulai dari Asia Tengah sampai Eropa. Keadaan alam Jalur Sutra berupa berupa oasis padang pasir  yang dikelilingi oleh pegunungan bersalju. Jalur Sutra dilalui oleh para pedagang dari berbagai bangsa, sehingga menjadi saksi dari gerakan yang saling mempengaruhi antar budaya. Pada jalan sutra sendiri dibagai dua rute yaitu utara dan selatan. Kedua jalur itu ramai dilewati dalam lau lintas perdagangan dan penyebaran agama.
Asia Selatan mempunyai peranan besar dalam rute-rute Jalur Sutra. India merupakan daerah yang dilewati dalam rute jalur Sutra, terutama dalam penyebarab agama Budha. Peranan Alexander Agung yang mempunyai kekuasan di Jalur Sutra atas daerah takhlukannya. Asia Selatan membawa pengaruh dalam penyebaran agama Budha. India dan Cina berkaitan erat dalam penyebarab agama Budha yang telah berkembang pesat di Cina.
Banyak para penjelajah besar yang melewati rute-rute Jalur Sutra. Mereka mempunyai pengaruh besar dalam catatan perjalanan tentang aktivitas dan kesibukan apa saja yang berada di Jalur Sutra.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan:
1.      Apakah pengertian Geohistori?
2.      Apakah pengertian Jalur Sutra?
3.      Bagaimana keadaan Geografis dan Rute-rute Jalur Sutra?
4.      Bagaimana kekuasaan Alexander Agung di Jalur Sutra?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Geohistori
Pengertian Geohistori pertama kali digunakan oleh pemrakarsa, sekaligus pembina pertama (1975-1982) yaitu Soebantardjo. Geohistori disini sebagai ilmu bantu sejarah. Adapun makna dan tujuan Geohistori adalah menyelidiki, membahas dan menetapkan hubungan timbal balik antara keadaan alam dengan aktivitas alam dalam menentukan jalannya sejarah; alam tidak saja merupakan tantangan tetapi juga menawarkan keadaannya kepada manusiademi kehidupannya, sehingga alam natur menjadi kultur; untuk kepentingan sejarah, bergerak dalam sejarah sehingga merupakan bagian dari sejarah, bukan bagian dari Geografi; obyeknya adalah keterkaitan antara data sejarah dalam arti luas dengan data keadaan alam. Penafsiran keadaan alam masa lampau maupun bekas-bekasnya dengan pendekatan sejarah; memperkuat kedudukan sejarah untuk memperoleh kebenaran yang seobyektif mungkin dengan data yang eksak, sehingga sejarah bukan “ilmu tafsir” tetapi pengetahuan ilmiah (Soepratignyo, 1990: 23).

2.2 Pengertian Jalur Sutra
Istilah jalur sutra atau Seidenstrasse baru melekat tahun 1887 setelah digunakan oleh Baron Ferdinand von Ricthofen, seorang pengelana dan ahli geografi Jerman. Setidaknya sejak abad pertama masehi, orang-orang Cina telah memiliki terminologi mereka sendiri untuk rute-rute sebelah utara dan selatan yang mengarah dari ibukota Cina ke daerah barat (sampai sekitar sejauh Oxus). Di masa awal kebanyakan pelintas tersebut adalah para misionaris dari berbagai kepercayaan. Namun, sejak abad ke 19, banyak para penjelajah ahli geografi dan ahli arkeologi yang melintasi jalur ini (Wood, 2003: 1-2).
Sekarang ini, istilah jalur sutra masih digunakan, namun mempunyai arti yang berbeda. Istilah tersebut tidak hanya mencakup suatu daerah yang secara geografis begitu luas ditandai oleh sejumlah pegunungan tinggi dan gurun, tapi juga suatu sejarah budaya yang panjang. Peradaban di sepanjang Jalur Sutra termasuk sejumlah kekaisaran yang telah lama dilupakan orang seperti Sogdia dan Tangut atau Xixia. Juga kota-kota besarnya, mulai dari Nisa dan Merv (Chorasmia) melewati Bokhara dan Samarkand (yang pernah menjadi ibukota Sogdia), sampai ke kota-kota oasis kuno seperti Kashgar, Bezeklik, Dunhuang dan Khotan yang mengelilingi gurun Taklamakan dan Lop di Asia Tengah (kini propinsi Gansu dan Xinjiang di negara Cina).  Ke arah sebelah selatan, ada perpanjangan rute perdagangan Jalur Sutra yang masuk ke wilayah Afghanistan dan Tibet (Wood, 2003: 3).
2.2 Keadaan Geografis dan Rute-Rute Jalur Sutra
Seorang penjelajah bernama James Elroy Flecker menulis syair yang berjudul “The Golden Journey” yang berisi saat iring-iringan panjang kafilah melintasi dataran. Dengan langkah kaki nan berani dan gemerincing lonceng-lonceng perak. Jangan cari yang lain kecuali kemuliaan dan keuntungan, jangan pula cari pelipur lara di sumber-sumber air yang dikelilingi pepohonan palem. Syair ini mengungkapkan jarak, pergerakan, juga berbagai hal eksotis. Karena belum pernah bepergian ke arah timur lebih jauh dari Lebanon, James mungkin tidak menyadari bahwa yang mengelilingi oasis-oasis Asia Tengah hanyalah poplar yang berganti daun mengikuti musim dan palem subtropis (Wood, 2003: 4).
Sekitar tahun 1930-an, Mildred Cable dan Fransesca French, para misionaris, mendeskripsikan keberangkatan mereka di waktu fajar pada saat menempuh Jalur Sutra:
“Sinar mentari yang mulai meninggi menyentuh lekak-lekuk padang di pegunungan Alpen di daerah Tibet dan memantulkan seuntai warna merah muda di atas lereng-lereng bersalju itu. Sebagian besar rangkaian pegunungan itu masih dalam cengkeraman kelamnya kegelapan yang menandai sisa-sisa penolakan malam terhadap hari yang baru datang. Bintang fajar masih terlihat jelas, namun dataran rendah di bawah begitu kelabu dalam sentuhan fajar. Tak lama kemudian, terang pun menyingsing dengan cepat....
“Di kaki gunung terbentang lintasan jalan tua. Jalan tersebut lebar dan sangant jelas tanda-tandanya. Entah sudah berapa banyak roda-roda berpaku tajam dari gerobak-gerobak kafilah yang telah melaluinya. Jalur-jalur jalan itu berpisah dan menyambung, kemudian menyebar lagi akibat aliran selokan kecil yag menandai dekatnya keberadaan dengan permukaan sungai. Begitu banyak aneka ragam penjelajah yang telah melewati jalan ini seperti sebuah aliran sungai kehidupan yang tidak pernah berhenti mengalir. Inilah jalan utama yang hebat di Asia; jalan yang menghubungkan Timur Jauh dengan Eropa nun jauh di sana (Wood, 2003: 3-4).
Walaupun sebenarnya kebanyakan sutra Cina diproduksi jauh di daerah selatan, kebanyakan peta memperlihatkan Jalur Sutra dimulai dari daerah Xi’an di Cina. Xi’an dulu di Cina dikenal dengan nama Chang’an. Kota yang berada di barat laut propinsi Shaanxi ini pernah dua kali menjadi ibu kota di Cina. Pertama dari tahun 206 SM sampai 25 M, pada masa dinasti Han (206 SM-220 M). Pada zaman itu para kaisar Cina mulai memperlihatkan cukup minat pada daerah-daerah di luar perbatasan sebelah barat kekuasaan mereka pada masa itu, Roma juga sama berminatnya mendapatkan sutra Cina. Kemudian untuk kedua kalinya tahun 618-907 M, saat dinasti Tang melihat peningkatan luar biasa dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tengah serta keterkaitan agama Budha dengan India melalui Jalur Sutra (Wood, 2003: 4).
Dari Xi’an, Jalur Sutra mengarah ke barat melewati Lanzhou dan kemudian mengikuti jalur terluar sebelah barat Tembok Besar. Kemudian jalur tersebut melintasi koridor Gansu dan terus ke arah Dunhuang. Kota oasis yang penting tersebut pernah menjadi salah satu pusat agama Budha terbesar di Cina dari abad ke- 4 sampai ke- 10. Pada masa itu, gua-gua yang tereletak di sisi sebelah timur gurun Lop dipahat dan gua-gua dis sisi sebelah selatan gurun Gobi digali. Gua-gua tersebut kemudian diisi dengan lukisan-lukisan tembok dan patung-patung cetakan oleh para rahib Budha. Pada abad ke- 5 dan ke- 6, banyak peziarah agama Budha yang terkenal seperti Xuanzang Agung, melewati Dunhuang dalam perjalanan menuju India (Wood, 2003: 4-5). Menurut Adams (2006: 81) bahwa Pendeta Budha Xuan Zhang meninggalkan India pada tahun 629 M. 16 tahun kemudian, ia kembali dengan membawa naskah Budha yang diterjemahkan dalam bahasa Sansekerta.
Di India, para peziarah tersebut mengumpulkan teks-teks suci untuk diterjemahkan dalam bahasa Cina. Situs ini seperti bagian pemandangan alam gurun yang biasa saja. Daerah gersang dengan gumuk pasir yang terlihat bergulung-gulung. Jajaran tebing panjang serta pahatan jalan masuk gua gelap kecil ini hampir tidak terlihat di balik hutan kecil pepohonan poplar yang tinggi yang tumbuh di tepi anak sungai kecil yang mengalir di sepanjang kaki tebing. Di tengah-tengah tebing tersebut, jauh di atas pepohohonan, ada bangunan kuil bertingkat-tingkat dengan rangka atap bergenting gelap melengkung jauh tinggi di atas pasir (Wood, 2003: 5).
Tidak jauh dari Dunhuang, rute gurun itu tebagi. Rute utama yang berada sebelah utara mengikuti lereng selatan pegunungan Tian Shan yang gelap dan berpuncak salju. Jalan itu melintasi sebelah utara gurun Taklamakan dan melalui kota-kota oasis, seperti Hami, Turfan, Korla, Kucha dan Aksu sebelum akhirnya mencapai Kashgar. Rute ini lebih panjang dan tidak lurus jalannya. Namun, rute ini juga tidak sesulit atau begitu melelahkan jika dibandingkan dengan rute sebelah selatan. Rute utara ini menjadi jalur tersendiri di akhir abad ke- 4. Sementara itu, rute sebelah selatan, melintasi oasis di kota Charklik, Cherchen, Niya, Keriya, Khotan (Hetian) dan Yarkand, sebelum juga berakhir di Kashgar. Para rahib Budha mungkin meninggalkan rute utama Jalur Sutra sebelah selatan di Yarkand untuk kemudian mengarah ke pegunungan Karakoram menuju Leh dan Srinagar, lalu masuk ke India. Rute sebelah selatan tersebut paling jelas digunakan di abad ke-2 dan ke- 4 (Wood, 2003: 6).
Ada rute kedua yang lebih jauh di sebelah utara lagi. Rute tersebut melintasi bagian utara pegunungan Tian Shan dari Ham ke Almalik, Balasaghun, Tashkent, Samarkand dan Bokhara. Para pedagang pengelana dan peziarah menghindari daerah gurun bagian tengah dalam perjalanan mereka ke Kashgar yang terletak di ujung sebelah barat gurun-gurun itu. Dari Kashgar, ada sejumlah rute yang mengarah ke barat dan selatan. Para rahib Budha bisa jadi berjalan melalui Hindu Kush, melintasi Tashkurgan dan menuju ke kerajaan-kerajaan Budha seperti Gandhara dan Taxila. Sementara itu, para pedagang bisa jadi melintasi bagian utara dataran tinggi Pamir mengarah ke Samarkand dan Bokhara, atau bagian selatan Pamir ke Balkan dan kemudian ke Merv. Dari Merv, ada sejumlah rute perdagangan yang mengarah ke daerah Mediterania melaui Baghdad ke Damaskus, Antiokia dan Konstantinopel (Istanbul), dan Trebizond (Trabzon) di Laut Hitam (Wood, 2003: 6-7).
Selama dua milenium, barang-barang mewah diangkut melintasi rute-rute sulit. Ruy Gonzalez de Clavijo, yang memimpin kedutaan untuk Timur di Samarkand tahun 1403-1405, mendiskripsikan betapa ‘seluruh barang-barang terbaik yang datang ke Samarkand berasal dari Cina: terutama sutra, satin, wewangian musk, batu delima, intan mutiara dan rubharb (sejenis kelembak). Orang Cina disebutkan sebagai pekerja paling ahli di dunia....Cambalu, kota utama Cathay (sebutan untuk Cina kuno), berjarak 6 bulan jauhnya dari Samarkand. Rhubarb1 begitu aneh berbaur dengan intan dan mutiara. Rhubarb yang berasal dari Cina ini adalah bahan obat yang paling berharga. Rhubarb dikenal sebagai obat pencahar (Wood, 2003: 7).
Jalur Sutra yang mebentang diantara kota-kota oasis dan kota-kota besar di daerah Mediterania adalah daerah tidak bertuan. Gurun Taklamakan, Lop dan Gobi yang begitu luas dikelilingi rapatnya pegunungan. Ada pegunungan Kuruk Tagh dan Tian Shan yang bersalju terbentang di sebelah utara. Ada Altun Shan dan Kunlun Shan di sebelah selatan. Selain itu terdapat rangkaian dataran tinggi Pamir, Hindu Kush dan Karakoram yang terbentang di sebelah barat. Seluruh rangkaian pegunungan itu menciptakan batasan-batasan alam yang harus diperhitungkan (Wood, 2003: 7-8).
Daerah luas yang terkurung pegunungan terletak sekitar 3.220 km sebelah timur dataran tinggi Pamir. Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan unta yang dipakai sebagai alat transportasi utama ‘di daerah stepa dan gurun Asia Tengah’ tempat Jalur Sutra berada, George Babcock Cressey mengungkapkan ‘daripada menyatakan ukurannya dengan jarak, daerah ini lebih baik dideskripsikan sebagai enam bulan dari timur ke bara dan satu bulan atau lebih dari utara ke selatan (Wood, 2003: 8).
Jalur sutra sebelah utara dan selatan mengikuti garis keberadaan hunian di oasis yang berada dekat dengan rangkaian pegunungan yang melingkar tersebut. Dari pegunungan, mengalir pasokan bagi oasis dalam bentuk dalam lelehan air. Sampai dengan kedatangan para penjelajah di akhir abad ke- 19, beberapa petualang telah sampai ke daerah tengah. Daerah tersebut terdiri dari serangkaian gurun pasir dipisahkan oleh Sungai Tarim dan Khotan Darya. Gurun Gobi di timur dan gurun Taklamakan di barat. Di tengah-tengahnya adalah Lop Nor, sebuah danau kuno. Danau itu sekali waktu pernah mendukung suatu penempatan garnisun yang berkembang pesat di Loulan. Sisa-sisa masa itu, seperti selusur tangga, pegangan, palang pintu dan perabotan dari kayu yang diukir cantik, ditemukan Sven Hedin (1899-1902) dan Aurel Stein (1906-1908). Berbagai temuan yang ada tersebut jelas sekali mengindikasikan kekayaan dan kenyamanan yang pernah dinikmati oleh penduduk setempat sebelum daerah itu mulai perlahan-lahan ditinggalakan setelah abad ke- 3 (Wood, 2003: 8).



2.3 Kekuasaan Alexander Agung di Jalur Sutra
Sebelum orang-orang Cina berangkat menuju Roma, Eropa pertama kali memasuki ujung sebelah barat Jalur Sutra dengan invasi Alexander Agung pada tahun 334-323 SM. Alexander menyerbu ke arah timur  dari timur dari tempat tinggalnya di Macedonia karena bermaksud mendirikan sebuah kekaisaran yang membentang sampai Mesir, menyeberangi Persia, dari Samarkand melintasi Sogdiana dan Baktria lalu mengarah ke India sebelah utara. Sebuah dunia yang terbentang dari Gibraltarsampai ke Punjab. Yang secara efektif mencakup sebagian besar ujung sebelah barat Jalur Sutra. Alexander menetapkan sistem koin berdasarkan standar perak Athena, menerapkan kurang lebih perdagangan bebas yang cukup terbuka. Penggunaan bahasa Yunani sebagai lingua franca juga meningkatkan komunikasi yang baik di kekaisarannya (Wood, 2003: 38).
Baktria kuno, yang terletak di sebelah Sogdiana, di sisi lain Oxus (kini adalah Amu Darya), hampir tertutup sama sekali oleh dataran tinggi Pamir dan Hindu Kush yang menjulang dengan puncak-puncak tinggi dan pelintasan di puncaknya selalu tertutup salju. Daerah terbuka di barat laut adalah bagian gurun Asia Tengah yang mencapai Oxus. Daerah ini karena ada sungai-sungai lainnya di Baktria, seringkali terkena luapan air sungai akibat lelehan salju. Banjir seringkali terjadi di musim semi meskipun daerah gurun sangatlah kering kerontang. Daerah di sekitar Kashkurgan adalah tempat pasar utama di Jalur Sutra. Daerah ini begitu hijau dan subur dengan banyak sekali kebun buah-buahan, pepohonan kacang-kacangan serta kebun-kebun anggur. Kombinasi gurun panas, dataran yang subur, lembah semi tropis serta pegunungan yang membeku, membuat sejarawan Curtius (abad ke- 1 awal abad ke- 2 M) menyatakan ‘Bactrianae terrae multiplex et varia natura est’ (Tanah Baktria begitu penuh keanekaragaman alam) (Wood, 2003: 38).
Pada pertengahan abad ke- 6, Baktria berada di bawah pemerintahan Persia. Dukungan masyarakat Baktria dan Sogdia untuk Darius Agung terlihat dalam inskripsi pahatan batu yang terkenal di Behistun. Pahatan itu sendiri begitu mengagumkan bagi Sir Henry Rawlinson dari pemerintahan British India pada awal abad ke- 19 karena inskripsi tersebut memberikan bahan yang cukup untuk mengartikan bahasa Persia kuno (Wood, 2003: 39).
Pada tahun 329 SM, pada masa kekuasaan Bessus (yang telah membunuh Darius III), Alexander Agung melintasi Hindu Kush dan masuk ke Baktria. Karena Alexander telah menahklukkan Achaemenid Persia, Alexander sekalian saja membawa Baktria ke dalam pelukannya. Meskipun Baktria bisa diambil alih tanpa kesulitan berarti, pemberontakan oranng-orang Sogdia lebih sulit dikendalikan. Baru pada musim dingin328-327 SM, Alexander bisa mendapatkan kemenangan. Pada awal tahun 327 SM, Alexander menikahi Roxane, putri salah seorang bangsawan Sogdia, lalu mengarahkan perhatiannya ke India dan yang sekarang ini Pakistan. Walaupun dengan berbagai kesulitan karena pasukan Macedonia yang dipimpinnya tidak senang dengan kesulitan perjalanan menempuh gurun (Wood, 2003: 40).
Penyerbuan Alexander ke Pakistan sama berdarahnya dengan aksi militernya dimanapun juga. Hal tersebut ditulis dengan antusias oleh para sejarawan kontemporer. Dalam aksi militernya tahun 326 SM terhadap Porus, peguasa daerah yang letaknya dibatasi kaki pegunungan Himalaya serta sungai Chenab dan Jhelum, daerah yang diserang tersebut dideskripsikan sebagai ‘tanah kota-kota besar’ meskipun luasnya hanya 15.000 kilometer persegi dan berpenduduk agak jarang. Dalam serangan angkatan bersenjata Porus tersebut, pasukan Alexander melakukan aksi yang begitu ganas. Terhadap kavaleri gajah. (Pasukan Alexander pernah mendapatkan sejumlah pengalaman menghadapi kavaleri gajah saat berperang di India). Untuk menghadapi gajah-gajah tersebut, mereka menggunakan lembing sepanjang 5,5 meter berujung pisau tajam berbentuk sabit yang dirancang untuk memberikan kerusakan maksimum pada gading-gading gajah itu. Pasukan Alexander juga membidik para mahout (pawang gajah) serta mata gajah-gajah itu. Sementara itu, dan belakang, formasi phalanx (pasukan ketat bersenjatakan tombak dan perisai) datang menyerang. Dengan demikian, gajah-gajah yang panikitu mundur ‘seperti kapal perang yang mencari air, tidak lagi menyerang tapi malah mengeluarkan jeritan tinggi’, dan menginjak-injak pasukan pejalan kakinya sendiri. Porus yang selamat dibawa menghadap Alexander, yang melalui sebuah wawancara lewat para penterjemah, dideskripsikan oleh Dandimus, sage India ‘seperti air bersih mengalir melewati lumpur’. Porus minta diperlakukan sebagai raja (suatu pernyataan yang Alexander minta Porus untuk menjelaskannya). Porus akhirnya diangkat kembali sebagai penguasa atas daerahnya sendiri namun di bawah kekuasaan Alexander (Wood, 2003: 40-41).
Alexander bukannya tidak sensitif terhadap kondisi geografis dan sejarah alam daerah kekuasaannya yang luas. Alexander pernah menjadi tertarik untuk menemukan bungan lotus di tepian sungai Chenab yang mebatasi kekuasaan Porus. Alexander dan stafnya sangat akrab dengan tanaman tersebut sejak saat mereka tinggal (sic) di Mesir. Bunga itu telah diperkenalkan di Mesir, mungkin oleh Achaemenid pertama. Lotus juga dikenal dalam dunia Yunani sejak masa Herodotus, dan setelah melihat buaya menyeberangi Sungai Indus tidak lama sebelum itu, Alexander sepertinya berpikir sekilas di tepi sungai Chenab bahwa kemungkinan Alexander telah menemukan bagaian hulu sungai Nil. Ada begitu banyak kerancuan informasi yang terlihat sebagai akibat proyek berisiko kekaisaran Alexander tersebut. Nearchus, teman Alexander semasa kecil, menulis catatan tentang aksi militer Alexander . Orang-orang Macedonia telah mendengar tentang binatang yang berguna ini dari Herodotus dan meminta penjelasan yang lebih jauh lagi. Para pedagang yang berasal dari Punjab dengan senang hati menyediakan ‘serangkaian kulit yang disebutkan berasal dari semut raksasa itu. Kulit tersebut bertotol-totol, seperti kulit macan tutul’. Bagi orang-orang Macedonia, ‘bukti nyata berupa kulit semut tersebut menjamin kebenaran akan adanya operasi pertambangan. Semut-semut tersebut dianggap sebagai kenyataan yang tidak lebih eksotis atau hebat daripada harimau India (Wood, 2003:41-42).
Kekaisaran tersebut tidak bertahan seperti pendirinya dan meragukan sekali jika ada orang yang bisa menyatukan daerah seluas itu seutuhnya. Namun demikian, sejumlah warisan Alexander masih dapat terlihat dalam bentuk pahatan luar biasa patung Gandhara di lembah Peshawar. Meskipun pengaruh Hellenistik sungguh terlihat nyata, para pakar sejak akhir abad ke- 19 telah menawarkan serangkaian kemungkinan pengaruh-pengaruh lainnya. Mereka mencakupnya dalam istilah seperti Romano-Bhuddist (karena pentingnya perdagangan laut antara Alexandria dan Palmyra serta India di zaman Romawi), ‘Graeco Iranian’ (menekankan kotribusi pahatan Parthia), berpuncak pada ‘Graeco Bactrian’, mendeskripsikan bagaimana ‘ada pertumbuhan dalam dan seputar Hellenistikyang dimodifikasikan di Baktria kuno atau berbagai tradisi artistik Graeco-Iranian yang selamat melewati kepunahan kekuasaan Yunani dan berkembang di bawah Kushan yang juga mengadopsi huruf Yunani untuk bahasa mereka (Wood, 2003: 43-44).
Agama Budha memasuki Gandhara kurang dari satu abad setelah penyerbuan Alexander dengan aksi militer misionaris besar yang didukung oleh penguasa India, Asoka (kira-kira 272-232 SM). Asoka sendiri adalah penganut Budha yang taat. Namun di bawah kekuasaan Kushan awal, seni Gandhara berkembang luar biasa. Bangsa Kushan yang memerintah Gandhara antara abad ke- 1 dan ke- 3 M, mungkin juga Yuezhi, diusir dari daerah Gansu (suatu lingkungan yang aneh di Asia Tengah) oleh orang-orang Xiongnu. Kekaisaran Kushan meliputi Samarkand, Bokhara dan Ferghana, berbatasan dengan kota-kota di sepanjang Jalur Sutra seperti Kashgar, Yarkand dan Khotan. Rute utama dari Asia Tengah yang masuk ke India dan menghubungkan India dengan Jalur-Jalur Sutra dan Mediterania, melewati Gandhara. Daerah tersebut mungkin diambil alih oleh orang-orang Kushan di bawah Kujula Kadphises, yang mencetak uang logam karena kagum dengan sebuah salinan kepala kaisar Romawi yaitu Augustus (27SM-14M). Namun demikian,  penguasa Kushan yang paling terkenal adalah Kanishka, yang hidup kira-kira 78-144 M. Sebuah patung seukuran tubuhnya yang selamat memperlihatkan tubuh yang terbalut tunik ditutupi oleh mantel lipit, memegang dua buah pedang besar dalam sarung pedang berhias. Kepala patung tersebut sayangnya hilang, tapi patung tersebut memiliki kaki yang sangat besar. Meskipun wilayah kekaisarannya meluas jauh ke selatan sampai Benares, Kanishka menyadari akan asal-usulnya dari Asia Tengah dan berusaha tetap mempertahankan perdagangan dengan pusat-pusat Jalur Sutra seperti Kashgar dan kota-kota lain, dan mengirimkan seorang duta ke Trajan dan Roma (Wood, 2003: 44).
Kanishka adalah pelindung agama Budha yang hebat. Kanishka juga membangun sebuah pagoda tinggi yang diligat oleh Xuanzang, peziarah Cina pada tahun 630. XuanZang mendeskripsikan bahwa pagoda tersebut memiliki 13 lantai dan beratapkan kepingan perunggu tempat yang berkilauan. Pada saat pemerintahan Kanishka, patung Budha ala Gandhara yang hebat pertama diciptakan. Selama beberapa abad kemudian, pahatan-pahatan semacam itu dibuat di daerah yang terbentang dari sebelah timur Kabul di Afghanistan, sepanjang lembah Peshawar mengarah ke timur ke Punjab dan situs besar di Taxila. Pahatan-pahatan ala Gandhara ini, menunjukkan cuplikan-cuplikan kehidupan Budha, kelompok-kelompok Budha dan Bodhisattva serta tubuh Budha sendirian. Semua patung itu dipahat dari batu, meskipun ada juga beberapa pahatan cetakan yang selamat, terutama yang berasal dari Afghanistan. Ada pula kotak-kotak tempat penyimpanan benda-benda suci dan keramat yang terbuat dari emas, tembaga dan batu lunak, serta koin-koin emas yang atas perintah Kanishka ditatahkan di tubuh Budha yang sedang berdiri (Wood, 2003: 44-45).
Dalam Natural History karya Pliny (abad ke- 1 M) terdapat deskripsi yang cukup panjang mengenai Seres, meskipun ditempatkan secara agak sembanrangan: ‘Setelah meninggalkan Laut Kaspia dan Lautan Scythia, perahu kami berbelok arah ke Laut Sebelah Timur karena pantai pantai menagrah ke sebelah timur. Bagian pertama pantai setelah tanjung Scythia sama sekali tidak berpenghuni karena banyaknya salju. Daerah tetangganya sama sekali tidak bisa diolah karena kebuasan suku yang menghuninya. Daerah ini adalah negara orang-orang Scythia Kanibal yang memakan tubuh manusia. Penduduk manusia pertama di sana adalah Seres (Wood, 2003: 46-47).
Gurun-gurun tempat binatang buas berkeliaran serta kanibal haus darah bisa saja berarti Asia Tengah sebelah barat laut. Hal ini karena orang-orang Yunani dan Romawi memberikan karakteristik orang-orang Kaukasia sebagai ‘Scythia’. Gambar Seres sangat menarik, karena meskipun perdagangan adalah suatu pekerjaan yang direndahkan pada Cina tradisional masa lampau, para kaisar Han awal berupaya untuk mempromosikan perdagangan dengan dunia Barat dan pertama kali mengirimkan utusan kekaisaran ke Ferghana pada abad ke-2 SM. Lingdi (tepat 168-189 M), salah satu kaisar dari dinasti Han, begitu tertarik dengan ide perdagangan sehingga kaisar tersebut ‘beberapa kali memainkan permainan pedagang bersama para wanita di istananya di Taman Sebelah Barat. Sang kaisar meminta para wanita tersebut memerankan peranan pendamping tamu di penginapan pribadi sementara kaisar sendiri menirukan seorang pedagang pengelana yang sedang berhenti di setiap “penginapan pribadi” untuk menikmati hiburan dari para “pendamping tamu” (Wood, 2003: 43).
Strabo, ahli geografi (lahir kira-kira tahun 64 SM) menampilkan suatu pendekatan yang sangat berbeda ke deskripsi geografis dengan memberikan ‘sedikit penekanan pada keajaiban geografis. Mengikutinya. Ptolemy (abad ke-2 M) dikatakan mengumpulkan informasi tentang Serica dan Sinae dari perjalanan seorang pria bernama Alexander pada abad ke-1 M, dan seorang pria disebut ‘Maes, juga dikenal sebagai Titianus’ dari Damaskus, yang terakhir ini begitu akrab dengan jalur perdagangan lewat darat. Dari pria tersebut tidak didapatkan informasi tentang kanibal atau binatang buas melainkan daftar kota  dan sungai. Peta-petanya, selamat dalam bentuk edisi abad pertengahan mungkin diuntungkan dari beberapa penemuan berikutnya, namun herannya, semua itu cukup informatif. Dalam teksnya, Strabo mengungkapkan bahwa Serica ‘terputus di sebelah barat dari Scythia di luar pegunungan Imaus....Di sebelah utara adalah tanah yang tidak dikenal yang paralel dengan jalan membentang ke arah Thule dan berbatasan ‘di sebelah selatan oleh bagian yang tersisa dari India di luar sungai Gangga’. Deskripsi ini sepertinya menempatkan Serica, tanah sutra, di Asia Tengah, dan deskripsinya tentang ‘bagian sebelah utara Serica ‘, tempat ‘ras Antrotophagi menggembalakan ternak mereka’, meskipun tidak tepat. Sinae, yang menurutnya terletak di sebelah Serica dan berakhir di arah timur, di ‘tanah tidak dikenal’, meskipun tidak terlalu akurat berada di selatan Serica dan berakhir di barat dari ‘India melampaui sungai Gangga’. Kota-kota utama yang terdaftar adalah Acatharia, Aspithra, Cocconagara, Sarata dan kota besar Thyne. Kota yang terakhir disebut adalah satu-satunya istilah yang dikenali. ‘Thyne’ atau ‘Thin’ (serta Sinae) diperkirakan berasal dari nama Qin, dinasti yang didirikan oleh Kaisar Shi tahun 221 SM. Kaisar tersebut sangat terkenal saat ini karena situs pekuburan luas di luar kota Xi’an, lengkap dengan tentara yang dikuburkan dalam patung-patung serdadu terakota yang berukuran tubuh sebenarnya (Wood, 2003: 48).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sekarang ini, istilah jalur sutra masih digunakan, namun mempunyai arti yang berbeda. Istilah tersebut tidak hanya mencakup suatu daerah yang secara geografis begitu luas ditandai oleh sejumlah pegunungan tinggi dan gurun, tapi juga suatu sejarah budaya yang panjang.
2. Pada abad ke- 5 dan ke- 6, banyak peziarah agama Budha yang terkenal seperti Xuanzang Agung, melewati Dunhuang dalam perjalanan menuju India (Wood, 2003: 4-5).
3. Sebelum orang-orang Cina berangkat menuju Roma, Eropa pertama kali memasuki ujung sebelah barat Jalur Sutra dengan invasi Alexander Agung pada tahun 334-323 SM.

DAFTAR RUJUKAN

Adams, S. 2006. Atlas Dunia Abad Pertengahan.  Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soepratignyo. 1990. Geohistori. IKIP Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wood, F. 2003. Jalur Sutra: Dua Ribu Tahun di Jantung Asia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Post a Comment

Previous Post Next Post